Sabtu, 18 Desember 2010

Rumahku Istanaku

Rumahku, ya.....Rumahku








Siti Jamaliah
  Arab 2009






Universitas Indonesia
CILEGOOOON, I’M COMING
Wush! Angin berhembus agak kencang sore itu. Agak dingin terasa di badanku. Mendungpun ikut juga meredupkan suasana. Aku sendiri masih bingung, apa memang harus berangkat sore ini atau menunggu besok pagi? Mengikuti kuliah yang menurut sebagian besar teman – temanku tidak penting. “ Cuma satu SKS gitu loh sit…”Begitu mereka coba membujukku. Mengajakku untuk mudik bersama mereka. Tapi aku tidak luluh juga. Aku mencoba mengeraskan hatiku. Benar – benar keras. Aku tidak mau memerdulikan omongan mereka  yang menurut mereka saja seperti “setan” itu. Heuh!
Memang hanya satu SKS. Kelas Apresiasi Film. Dan sebenarnya akupun ragu untuk masuk kuliah hari itu. Aku mau mudik. Benar – benar “homesick”. Rindu rumah. Tapi aku mencoba bertahan. Aku bertekad tidak mau bolos kuliah jika bukan dalam urusan yang benar – benar mendesak. Aku takut ketika aku harus benar – benar absen untuk keadaan darurat, terhalangi karena jatah bolosku telah habis. Hah!
Dari pagi aku telah “packing”. Tas besar. Koper. Seperti akan pergi umroh saja. Padahal isinya baju kotor yang tidak sempat kucuci dikosan. Hahai. Aku mau tetap kuliah. Yang ada dipikiranku adalah amanah orangtuaku. Mereka benar – benar berharap aku bisa menjadi kebanggan mereka. Ketika aku menelepon karena rasa rindu yang tak tertahankan, mama’ menyuruhku untuk tetap tegar. Aku “homesick”. Beliau sengaja menahan keinginannya meneleponku agar aku bisa tetap kuat katanya. Hufh, semakin biru saja hatiku bila mengingat itu.
“KULIAH…….”hatiku berteriak sekeras – kerasnya, ku pacu semangatku selalu. “Ah, sudah biasa aku berjuang sendiri. Aku pergi dan pulang sendiri. Biasa.
Aku mulai menjadwal semuanya. “Hari ini harus kemana dulu ya?” Aku putuskan untuk membeli oleh – oleh sambil menunggu jam empat. Aku ke bursa busana muslimah. Sendiri. Padahal aku sama sekali belum tahu persis tempatnya. Akhirnya aku sampai juga. Allah memberiku pertolongan. Aku bertemu dengan seniorku seBanten. Dia membantuku menunjukkan jalan. Di toko itupun aku kembali dipertemukan dengan kenalanku.Kupilih kerudung untukku dan mama’. Aku menanti jam empat. Lama sekali.  Sekitar jam dua lebih aku kembali ke kosan. Mempersiapkan diri untuk kuliah. Teman – temanku belum menyerah, mereka masih menghasutku. “sit, percaya deh yang laen udah pada libur…”kata mereka. Akupun sempat goyah,  kemudian kutelepon teman sekelasku untuk memastikannya. Jawabannya malah semakin meyakinkanku untuk masuk kuliah hari itu. Karena dosenku tidak menyinggung tentang libur. Anehnya temanku tidak mau masuk, karena ada urusan. Dia malah menitipkan izin padaku. Sudahlah. Kupikir wajar. Kemudian aku berangkat.
            Aku menunggu “Bikun”. Lama sekali. Tetapi kali ini lebih lama dari biasanya. Aku sudah menunggu lebih dari setengah jam. Masya Allah. Aku hampir tidak sabar. Ternyata memang aku tidak sabar. Aku menghitung mundur dari sepuluh, kebiasaanku jika menunggu lama. Dihitungan terakhir ternyata Bikun tidak datang juga. AAARGH!
“Kenapa ini ya Allah….”teriakku dalam hati. Ah, Ojek. Baiklah , aku naik ojek. Aku sudah terlambat lebih dari sepuluh menit. Normalnya aku tidak boleh masuk, dan harus ikut kelas berikutnya dengan absen yang mungkin tidak diakui. Aku melihat jalan yang dilalui bukan jalan yang biasa. Tukang ojek ini memotong jalan rupanya, syukurlah ongkosnya mungkin nanti akan menjadi lebih murah.
Lima ribu. Hatiku bergumam tidak rela. Sedekat itu lima ribu? Lima ribu memang bukan nilai yang besar untuk kebanyakan orang, tetapi bagi anak kos seperti aku , itu sangat berarti. Mereka memang memasang tarif tetap. Dekat jauh ya lima ribu. Karena sekian banyak orang yang naik ojek adalah mereka yang terdesak. Terlambat dan sebagainya. Hufh! Ah, Resiko.
Dengan cepat aku menuju kelas yang letaknya dilantai tiga. Tanpa lift. Aku melihat orang – orang memerhatikanku agak aneh. Lantai satu, dua, dan….ARGHHHH!
“MAAF, KELAS APRESIASI FILM HARI KAMIS 17 SEPTEMBER 2009, DILIBURKAN!!!!”
ARGHHH! Rasanya aku ingin menghisap darah setiap orang yang ada disekitarku. Ya ALLAH, ampuni aku. Astaghfirullah. Mudikku, lima ribuku, ARGHHH! Astaghfirullah. Berkali – kali kutenangkan diri, berusaha “sebiasa” mungkin. Berusaha menutupi rasa maluku pada orang – orang yang terlihat memerhatikanku lucu.  
Semua rasa bercampur seketika setelah aku melihat pamphlet pengumuman yang tepat terpasang di depan pintu kelasku.
Aku berjalan tenang. Tepatnya pura – pura tenang. Aku mencoba memasang senyum seikhlas – ikhlasnya setiap bertemu dengan orang yang kukenal. “ Jamaliah,”terdengar ada yang memanggil namaku dari jauh. Ila dan kawan – kawan. Anak - anak “korea” itu bisa sedikit menenangkanku sore itu dengan obrolan santai dan singkat kami. Setipa kali ada yang bertanya darimana, aku selalu berusaha menjawab setenang - tenangnya tentang apa yang terjadi. Aku berharap saat itu tidak bertemu dengan teman – teman satu kosku, yang ikut menunggu Bikun bersamaku. Malu rasanya kalau sampai mereka tahu yang terjadi. Aku yang tidak sabar menunggu Bikun, meninggalkan mereka naik ojek. Ditambah lagi malu karena aku tidak mendengarkan omongan mereka untuk tidak masuk kuliah. Malu dengan keukeuhanku. Ah! segera kutepis semua perasaan itu. Aku yakin ini adalah cara setan membuatku putus asa dan kufur. Benar saja aku bertemu dengan teman – teman kosanku. Huhu, sebelum mereka bertanya aku telah siap meneriakkan “HOLIDAAAAAY”. Sambil tertawa agak gila aku meninggalkan mereka. Astaghfirullah. Tidak penting. Jika aku terus menyesali itu. Bodoh. Astaghfirullah, berkali – kali aku berucap.
            Aku langsung ke halte. Biasa, menanti kekasih hati. Bikun. Alhamdulillah kali ini tidak selama tadi aku menunggu. Memang Bikun tidak selalu datang tepat disaat yang kita inginkan. SABAR. Itulah menurutku kunci bertahan di kampus ini. Apalagi untuk tahun – tahun pertama seperti aku ini. Dipikiranku saat itu hanya pulang. Secepat mungkin aku berusaha sampai ke kosan. Alhamdulillah. Allah memang tidak pernah meninggalkanku sendirian, di tengah jalan aku bertemu dengan teman sekamarku yang seharusnya menurutnya dia sudah pergi dari tadi. Tetapi Allah menghendakinya menjadi pelipur laraku. Aku meminta waktunya sebentar untuk menungguku mengambil barang – barangku. Syukurlah, dia mau menunggu. Aku segera mempersiapkan semuanya. Aku meminta dia mensurvei barang – barang apa saja yang harus aku bawa. Maklumlah, aku pelupa. Setelah berpamitan dengen penghuni kosan yang lain, termasuk Ibu kos (aku sedikit tidak srek dengannya), kamipun pergi.
            Kami tidak ke terminal. Kami hanya menunggu bis di jalan. Memang setiap orang punya kadar keberuntungannya masing – masing. Temanku Saras, mendapat bis lebih dulu. Aku menunggu bis yang lewat, jurusan Merak. Menurutku mungkin tidak ada bis yang langsung ke Merak disitu. Ah! Akupun menggunakan kebiasaanku saat menunggu. Tidak perlu heran dengan kebiasaanku ini. Kebiasaanku ini berawal dari keterlambatan. Aku berhitung untuk menghilangkan rasa was- wasku. Terkadang aku berhitung maju, dan kadang mundur. Terkesan aneh dan tidak konsisten mungkin, serta kekanak – kanakan. Aku mulai menghitung maju sampai sepuluh. Satu, Dua……………..Sepuluh. Tidak Akhirnya aku menyetop 112. Ini adalah kali kedua aku pulang ke Cilegon sendiri. Aku belum hafal benar jalan – jalannya. Akupun tidak ragu untuk bertanya pada penumpang yang lain dimana dan akan aku harus turun dan mendapatkan bis yang kutuju. Alhamdulillah, aku merasa banyak sekali mendapat bantuan sore itu. Aku bertanya pada seorang ibu yang kemudian menyalurkan pertanyaanku pada penumpang yang lain, sampai ke supir. Aku melihat – lihat keluar, tempat dimana aku harus turun. Lelah mulai menyelimutiku. Panas dan sesak karena penumpang angkot yang bertambah. Hufh!
            “Jalan Baru  - Jalan baru!” Teriakan supir yang kutunggu sejak tadi menghentakku. “Yang mau ke Merak naek dari sini aja,”mencoba mengarahkan. Kemudian aku ikut turun mengikuti Ibu tempat aku bertanya tadi yang mengajakku turun.
Alhamdulillah. Tidak harus menunggu lama, bis langsung lewat di depanku dan dengan segera aku langsung masuk ke dalam bis, mencari tempat duduk yang paling strategis.
Ah, namanya saja bis ngeteman. Bis abal – abal, bis yang berhenti pada tempat yang tidak seharusnya. Terminal. Jadilah aku mendapat tempat duduk “sisa”, seadanya. Aku bingung harus duduk dimana, karena semua tempat yang kosong di sebelahnya telah ditempati oleh orang yang bukan mahramku. Dalam agamaku, Islam, tidak diperbolehkan berdua – duaan (khalwat) atau bercampur - baur (ikhtilat) antara laki – laki dan perempuan yang bukan mahramnya. Setidaknya itu yang aku tahu dan menjadi prinsipku yang terus coba kupertehankan sampai sekrang. Semaksimal mungkin, sampai sekarang. Aku duduk di kursi satu – satunya yang “aman” menurutku. Kurang nyaman memang, Jauh dari nyaman malah. Kursi – kursi lain empuk dan hangat, jok yang bagus menurutku. Kursi tempatku duduk semuanya dari besi. Tidak empuk, dan sangat dekat dengan pintu sehingga apabila ada penumpang yang keluar atau masuk sangat mengganggu.  Ah!“Bersyukur” masih bisa duduk. Aku duduk sendiri. Disebelahku tidak ada orang, aku rasa memang tidak ada orang yang mau duduk di situ, kecuali kepepet. “Neng, duduk di sini aja, masih kosong kok”kata salah satu penumpang yang peduli dan kemudian diiyakan juga oleh beberapa penumpang lain, meyakinkan. “ Iya, daripada di situ gak nyaman”yang lain mengikuti. Aku memerhatikan di hampir semua sudut, mencari – cari tempat yang pas. Aku memandang mereka dengan muka agak melas, menolak. Menurutku memang tidak ada yang pas, apalagi nyaman karena semua tempat yang mereka tunjukkan di sebelahnya pasti sudah terisi oleh yang tidak “aman” untukku. Kemudian tiba – tiba seorang perempuan yang duduk di sebelah barisan tempat dudukku, berdiri dan pindah, kemudian duduk bersama dengan seorang laki – laki, dan sengaja mengosongkan bangkunya untuk mempersilahkanku duduk di sebelah saudara perempuannya.”Nah, di sini aja”. Katanya mempersilakan. Dan semua orang yang tadi simpati padaku ikut mengiyakan. Wah, alhamdulillah. Aku senang sekali. Mereka mengerti keadaanku. Mereka ternyata paham dengan mimik dan sorot mataku. Aku disambut hangat oleh saudara perempuannya itu. Kami mengobrol santai, tetapi lama – lama aku merasa nyambung. Aku juga tidak tahu kenapa aku merasa nyaman. Bahkan ketika mereka menawarkan makanan padaku, aku tidak menolak. Tepatnya lupa untuk menolak. Perut yang sudah lapar dan uang pas - pasan memang mengambil andil paling besar dalam hal ini. Aku malah bersyukur, haha.
            Hari ini aku benar – benar lelah. Setelah semua yang terjadi seharian ini. Iya semuanya. Obrolan inipun segera ku akhiri. Kehabisan bahan obrolan. Kumohon izin untuk tidur lebih dulu. Aku tidur. Benar – benar tidur, hingga hamper sampai aku belum juga sadar. “Serang – Serang!” Suara itu menyentakkanku. Ah, sudah sampai Serang rupanya. Perjalanan yang cukup cepat. Tercepat malah, selama aku pulang – pergi Cilegon – Depok. Cuma tiga jam. Tidak seperti biasanya, bisa sampai empat bahkan lima jam lebih. Alhamdulillah.

Episode 1        : Hibernasi
Setelah sampai di rumah aku langsung merileksasikan diri, aku berbincang – bincang sebentar dengan keluargaku tentang kehidupan kuliahku.
Sungguh hari yang melelahkan kemarin. Aku benar – benar lelah. Rasanya badan Ini tidak bisa diajak kompromi. Aku masih tidak mau beranjak dari kasur ini. Jam 9 pagi. Waktu yang seharusnya aku sudah bangun dan beraktivitas. Ah, aku tidak peduli. Tapi… wah, aku lapar. Setelah makan dan rutinitas “rahasia” pagi selesai aku kembali lagi ke kamar.
Ah, kasur. Magnetnya terlau kuat menarikku. Aku mendengar bantal – bantal itu memanggilku lembut. Angin membujukku mesra. Ah, nikmatnya. Alhamdulillah. Inilah setitik nikmat surga di dunia, setidaknya saat ini. Aku merasa melayang. Badanku terlau malas untuk bergerak. MALAS.  Aku ingin benar – benar tenggelam dalam kenikmatan ini. Setidaknya unutk sekedar melepas penatku, meliburkan otak – otakku, membebaskan badanku, dan mengunci kesibukanku untuk beberapa saat saja. Dateline tugas kuliah, OSPEK, dan sekelumit masalah lain di kampus. Hufh!
Haha, hibernasi memang kata paling pas untuk kondisiku saat ini. Kau tahu hibernasi bukan? Iya, tidur panjang. Yang biasanya dilakukan tupai saat musim dingin. Itu yang aku tahu dari Spongebob. Haha, childist .
Setumpuk THR (Tugas Hari Raya, sungguh menyenangkan bukan mendapat THR?) sebenarnya telah menunggu sentuhan lembut tangan seorang siti. Setumpuk. Disaat orang – orang bersenang – senang dan meliburkan segala hal yang membebani pikirannya, aku masih harus memikirkan tumpukan THR – THR itu. Heuh! Ah, lupakan aku tidak mau memikirkan itu. Paling tidak untuk beberapa jam kedepan. Hibernasi. Jangan ganggu aku.

Episode 2        : Anak Rumah Tangga
Hari ini adalah H-1 menjelang  Lebaran. Kalau dalam keluargaku yang berdarah Aceh asli, kami punya tradisi khusus hari ini, ma’ meugang. Hari ini, harinya beres – beres. Benar – benar beres – beres. Semua orang di rumah hari ini harus ikut ambil bagian menjalankan tradisi ini. Agar bisa merasakan nikmatnya, setahun sekali. Membuat rumah berbeda seperti hari – hari lain. Semuanya diganti. Untuk yang sanggup saja sih. Saatnya bagi – bagi tugas. Ada yang masak dan harus memasak makanan khas daerah yang paling nikmat untuk besok, menegepel, menyapu, mengelap kaca dan masih banyak lagi sebenarnya. Setiap orang tidak hanya mengerjakan satu tugas sebenarnya, bisa doble job bahkan banyak yang multi job. Semuanya cuma ada waktu lebaran saja. Benar – benar langka. Sampai – sampai abangku juga harus ikut membantu.
            Aku, mendapat kepercayaan menjadi assistant  mama’ di dapur.
“ Kupas bawangnya. Potong cabenya, lalu cuci ini, ini, dan ini.”perintah mama’ padaku.
Dengan sabar dan semangat kuturuti semuanya. 

Episode 3 :  Tragedi di Hari Fitri

Ini adalah momen yang paling kutunggu. Satu Syawal. Hari ini semua umat Islam dan yang “mengaku” Islam berbahagia. Hari kemenangan Begitu kata banyak orang. Kemenangan karena keberhasilan menahan nafsu selama sebulan penuh di Ramadhan, kemenangan atas kesucian batin dari Zakat Fitrah, kemenangan lahiriah dari saling bermaafan sesaama muslim. Khususnya aku yang merasa sangat bahagia hari ini. Sangat. Aku, Siti Jamaliah. Seseorang yang sangat anti minta maaf pada orang yang telah kuanggap musuh. Gengsi donk.
 Tetapi semua berubah akhir – akhir ini. Aku benar – benar ingin berubah. Melunakkan hatiku yang keras. Menghancurkan dinding keangkuhan. Aku berhasil meinta maaf pada musuhku. Walaupun secara tidak langsung, tetapi aku sangat lega dan puas.Hah! orang yang sejak SMP. Sudah enam tahun rupanya, tidak terasa. Tanpa maaf yang tulus. Bahkan terakhir bertemu dan berpapasan tidak ada tegur sapa seperti orang yang tidak saling mengenal satu sama lain. Chaidir. Ya, namanya Chaidir. Entah seperti apa sebenarnya penilaian hatinya terhadapku. Mungkin dia sangat membenciku. Entahlah.Tetapi yang pasti saat ini untuk keseriusanku bertaubat, aku akan “merelakan” diriku untuk meminta maaf terlebih dahulu. Kubuang gengsi dan ku kubur semua keangkuhanku. Kuukirkan ketulusan hati pada lembaran sms Idul fitri. Bukan dengan kata – kata indah bahkan sangat jauh dari kesan lembut. Hah! Aku ya………aku. Beginilah aku.
Tidak kusangka dia akan membalas smsku dan menerima permintaan maafku. Bahagia sekali rasanya. Aku mulai tertawa sendiri. Kemudian kuceritakan pada kakakku tentang itu, karena memang keluargaku selalu mengikuti cerita permusuhan kami yang sejak masih ABG itu. Hahahahah, aku bahagia.
Hari ini aku benar – benar merasa diliputi kebahagiaan penuh, tepatnya sebelum dia “stress” mengacaukan semuanya. Iya, dia adalah orang yang sangat membenci keluarga kami. Dia, adalah mantan tetanggaku. Tidak jelas sekarang dia tinggal dimana, yang jelas aku sering melihatnya di pinggir jalan. Seperti gelandangan. Keluarganya terpecah belah. Semua karena ulahnya yang serakah dan boros membelanjakan harta. Dulu dia adalah orang yang bisa dibilang mampu, bahkan setelah suaminya meninggal karena tertabrak mobil beberapa tahun yang lalu. Namun semuanya tidak bertahan lama, keadaan ekonomi keluarganya makin terpuruk ketika dia mulai menjual rumahnya untuk pulang kampong. Tapi yang aku heran dan menjadsi wacana banyak tetangga lain adalah sikapnya dalam membelanjakan uang itu. Ia boros, bahkan terlalu boros. Ia sering membuang – buang makanan dan juga membakar baju – baju yang menurut banyak orang normalnya masih layak pakai. Kepulangannya ke kampung halaman ternyata bukan menyelesaikan masalah, malah semakin menambah masalah. Desus yang kudengar, dia ditolak oleh keluarganya, yang diterima hanya anak – anaknya. Entah apa sebabnya. Kemudian dia memaksa anak – anaknya untuk kembali merantau ke Cilegon. Memaksa, adalah salah satu sifat buruknya disamping banyak lainnya. Dia kembali dengan bekal yang menipis menurutku. Tetapi, masih terlihat ia menghamburkannya. Padahal disini dia tidak punya rumah lagi.
Tidak lama semua hartanya habis. Dia tidak punya uang sama sekali, bahkan untuk makan. Yang aku lihat dia membawa anaku bungsunya selalu bila di jalan. Kasian sekali anak itu. Dia menjadi sangat kurus dan dekil. Ditambah lagi ketika dia sakit dan hamper btewas karena demam berdarah, sungguh malang. Ibunya memanfaatkan dia untuk mendapat pengasihanan dari banyak orang atas keyatiman dan kejandiaan dia sendiri. Aku semakin benci menceritakannya. Anak itu dan semua anak – anaknya yang lain menganggap keluargaku adalah saudara mereka, begitupun kami walaupun dulu pernah terjadi cekcok hebat antara mama’ku dan ibu mereka. Semuanya kami lupakan dan maafkan atas dasar sayang dan belas kasih. Kamipun merawat si bungsu dan membiarkannya tinggal dan hidup bersama kami. Sungguh sedih ketika kami mendengarkan ceritanya ketika dia bersama ibunya, dia bilang dia sering tidur di “hotel”. Aku sedih sekali karena aku tahu dia sedang menceritakan kehidupan bersama ibunya di jalan. Kami mengasuhnya, mendidiknya tetapi kami tidak punya biaya waktu itu untuk menyekolahkannya. Kemudian orangtuaku menceritakan semua kejadian itu pada saudaranya. Dan mereka berkeinginan untuk mengasuh si bungsu. Dan kamipun menyetujui si bungsu untuk dibawa kesana, dengan berdiskusi dengan anak – anaknya yang lain dan merekapun setuju untuk tidak memberitahukan ini pada ibu mereka karena pasti dia akan melarang dengan berlatar motif eksploitasi. Mereka sudah tahu.
Aku kira kebahagiaan telah dimulai. Si bungsu hidup dengan orang yang serba kecukupan dan menyayanginya. Dia bisa sekolah dan mengukir prestasi dengan kecerdasannya. Semakin hari ia tumbuh menjadi gadis yang cantik. Benar – benar terawatt. Ibunya yang telah mempercayakan pengasuhannya kepada kami, sangat marah ketika mereka tahu anaknya sudah tidak lagi bersama kami. Sebenarnya dia menitipkan si bungsu pada kami hanya agar mudah di jangkau ketiak sewaktu – waktu dia akan memerah anak ini.  Kemudian diapun mulai mengarang cerita bahwa kami telah menjual anaknya untuk biaya ayahku pergi ke Arab. Bodoh sekali, karena semua itu percuma. Tidak akan ada yang percaya. Apalagi tetangga di sekitar kami. Kemudian tindakannya semakin menjadi. Setiap berkunjung kerumah ia selalu memaki – maki kami dengan kata – kata yang tidak pantas dan seronoh. Masya Allah.
Termasuk hari ini, di hari yang fitri ini. Aku tahu dia tidak stress. Itu hanya akal – akalannya agar dapat betindak anarkis tanpa terjerat hokum Pernah suatu saat dia dijebloskan ke penjara, tetapi dia dapat dengan segera bebas karena dia berhasil menipu dan mencari simpati polisi tentang kondisinya. Hahha, wajah hokum Indonesia memang buruk. Hari ini ketika semua orang telah kembali fitrah, dia kembali membuka lembaran hitam itu. Ketika itu dia mengajak anaknya yang sedang berkunjung ke rumah kami (setiap lebaran mereka memang sering datang kerumahku) untuk berziarah ke makam suaminya. Anaknya yang takut dan tidak mau pergi bersama ibunya kemudian mengajak kakakku ikut serta. Ibunya yang melihat anaknya bersama kakakku sungguh tidak terima dan dia mulai menghujani kakakku dengan kata – kata busuk. Keadaan memanas ketika dia mulai menyerang anaknya. Tamparan, Tonjokan, Tendangan diarahkan bertubi – tubi pada anaknya tanpa balas. Kakakku tidak tahan melihatnya dan menyuruh anaknya lari. Kemudian kami sekeluarga keluar untuk mendamaikan konflik. Tapi yang terjadi malah mama’ku semakin memanas ketika melihat kakakku diserang, dan jadilah pertarungan hebat itu di mulai. Si bungsu yang melihat itupun kembali untuk membela kakakku, tetapi malah dia menjadi sasarannya. Tetanggaku yang dating melerai tidak menghalanginya untuk terus menghujamkan pukulan dan tendangan pada badan si bungsu yang lemah itu hingga ia jatuh pingsan Aku tidak mau berbuat macam – macam apalagi melawan, lebih akrena kau memerhatikan hari tu adlah hari yang suci dan tidak pantas dikotori. Keadaan yang sepi waktu itu membuat serangannya menjadi semakin lacncar, seperti sudah direncanaka. Dia tidak pernah bosan dan terus saja meneror kami. Sebelum hari itupun kami sudan mengambil ancang – ancang mewaspainya. Kami takut orang yang pikiran dan hatinya tidak beres ini berbuat nekat. Ya Allah lindungilah kami dan keluarganya. Dan kembalikan dia ke jalan - Mu yang lurus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar